Senin, 19 Oktober 2015

Menulis
         Menulis adalah suatu kegiatan positif bagi siapapun. Namun, banyak orang yang tidak menyadari hal itu. Di zaman yang sangat modern dan instan ini, menjadi bertambahnya daftar buruk bagi penulis. Ini dikarenakan pola fikir manusia yang semakin instan dan malas untuk berfikir terutama buat menulis. Mereka cederung menjiplak kata-kata yang sudah ada, tanpa harus dikeluarkan dari hasil pemikiran mereka sendiri.
            Banyak kalangan masyarakat saat ini, mulai meninggalkan kegiatan menulis. Terutama bagi kaum-kaum penerus, yaitu kaum muda. Kita dapat melihat keadaan sekitar kita. Jangankan untuk menulis, menuntut ilmu saja, mereka acuh tak acuh. Termasuklah aku yang menjadi korbanya.
            Aku ingin meluapkan semua emosi dalam fikiran dengan sentuhan seni kreatifitas menulis. Ide selalu datang, kala aku terdiam. Khayalku melayang menceritakan kehidupan yang menjadi impianku. Namun, waktu sering tidak tepat. Terkadang inspirasi itu hadir dengan suasana  yang tidak memungkinkan, seperti di kamar mandi. Tidak mungkin saat mandi, aku sibuk mencari secarik kertas dan pena hanya sekedar menulis ide yang aku dapat. Sayangnya, kejadian itu, sering aku alami. Keadaan itu diperparah, ketika aku memegang sebuah pena, dan memandangi selembar kertas putih untuk meluapkan isi dari fikiranku.  Hasilnya, tak segorespun dapat tertuang. Aku bingung dengan keadaan itu.
            Menulis menjadi beban bagiku. Beban menjadi momok hidupku. Saat aku mengingat akan menulis, kataku dalam hati selalu malas. Malas telah menjadi sugesti dari diriku. Itulah yang membuat aku sulit untuk menulis. Padahal banyak yang ingin aku tuangkan dari benakku. Aku berfikir, bagaimana cara agar aku bisa menulis, walapun hanya satu paragraf.
            Aku coba untuk searching di google, mencari tips –tips menulis. Akupun mulai mencari di web page, aku ketikkan huruf “g”, malah keluar tulisan “facebook”, dan saat itulah aku lupa dengan tujuan awalku, yaitu menulis. Ironi bukan?

            Semua terjadi tanpa aku sadari. Banyak waktu terlewati dengan sia-sia. Akupun menyesal kemudian. Rasa penyesalan itu, memupuk rasa bersalah, dan membuat aku semakin malas untuk menulis. Sampai akhirnya, aku mencoba membiasakan diri dengan menceritakan perihal yang aku alami. Ini adalah awal bagiku. Tanpa terasa aku telah menulis hingga dua halaman kertas. Benar saja, jika aku mengubah pola fikirku tentang menulis, aku pasti bisa menulis. 

Rabu, 18 Maret 2015

Kesesatan
Karya : Lily Nurindah

Duri kau tabur dari tatapan
Kau rajam aku, dalam kenikmatan
Terkekang, saat cinta butuh kebebasan
Rapuh dan menyerah pada keadaan

Hanya diri sedang kesesatan
Kematian
Karya : Lily Nurindah

Helaan napas perlahan hilang
Sebagai tanda hidup di ujung tiang
Sang insan pasrah dengan tujuan

Karena jasad sudah tak bertuan
Kehidupan

Karya : Lily Nurindah

Ombak mengibas
Lantunannya membawa pesan
Butiran pasir hanyut dalam buaian
Terkikis, perlahan menepi
Takkan habis dimakan zaman

Begitu pula kehidupan
                                                                                                                 

Realita Pelajar Suka Pacaran

Kata pacaran sudah tidak asing lagi bagi kita. Ketika saya menginjak usia 5 tahun, pacaran menurut saya adalah suatu hal yang boleh diketahui hanya untuk orang dewasa saja. Namun pada saat ini, anak bauk kencur saja, alias masih SD sudah sangat paham dengan pacaran. Kita dapat melihat realita itu di sosial media, contohnya Facebook. Tidak rahasia umum lagi anak bauk kencur itu mengumbarkan kemesraannya lewat kata-kata cinta dan foto-foto mesra. Panggilan kasih sayangnya saja layaknya sudah sah menikah, mereka sering memanggil kekasihnya dengan panggilan “Ayah, Bunda”, kalau mau yang lebih islami “Abi, Umi”. Tidakkah mereka sadari bahwa masa-masa kecil mereka telah dirampas dengan itu semua.

Kalau kita mengulas lebih dalam, pada masa SD kita seharusnya masih bermain dengan kebebasan hati dan pikiran kita. Kita sering bermain Tram-trambuku, patok lele, Wak-wak Udin, Cabut Ubi, dan lain sebagainya. Tapi sekarang? Semua seakan raib dan benar-benar hilang. Mereka lebih suka berkumpul di warnet, dan bergaya layaknya artis sinetron televisi.


            Sangat disayangkan, padahal masa-masa indah itu tidak akan kembali. Kalaulah saja kita sabar dan telah terbentengi akhlak dan etika yang mulia, kita pasti dapat mengikuti perkembangan zaman ini kearah yang lebih positif.